Please Wait
20640
Ilmu memiliki ragam makna dan penggunaan. Nampaknya pada pertanyaan yang dikemukakan di atas makna ini digunakan saling silang sengkarut dan bercampur satu sama lain. Karena yang dimaksud dengan ilmu yang boleh jadi disalahgunakan adalah ilmu-ilmu yang berkembang dan popular di tengah masyarakat. Meski bahwa ilmu itu adalah cahaya namun cahaya juga boleh jadi disalahgunakan oleh orang.
Namun ilmu yang tidak mungkin orang salahgunakan bukanlah ilmu yang umumnya diketahui oleh orang melainkan sebuah hakikat yang diperoleh manusia dari Tuhan buah dari kekudusan jiwa dan kesuciannya dari pelbagai noda.
Ilmu yang diperoleh karena hubungan eksitensial dengan Tuhan ini adalah cahaya murni yang hanya mengandung kebaikan. Keburukan sama sekali tidak memiliki ruang di dalamnya.
Bagaimanapun harap dicermati bahwa ilmu yang umumnya diketahui oleh manusia bukanlah cahaya murni. Ilmu sedemikian memiliki potensi disalahgunakan. Adapun ilmu yang mengandung cahaya murni tidak terdapat kemungkinan untuk disalahgunakan.
Masalah penting lainnya adalah bahwa kebodohan memiliki dua pengertian. Pertama sebagai lawan kata ilmu. Kedua sebagai lawan makna akal. Apabila yang kita maksud adalah kebodohan dalam artian kedua maka kita dapat menyebut perbuatan orang-orang yang mengamalkan ilmunya adalah mengikuti syahwat dan dapat dikatakan bahwa orang-orang jahil ini menyalahgunakan ilmunya.
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus memperhatikan beberapa poin berikut ini
A. Makna Ilmu
‘I-l-m (ilmu) secara leksikal bermakna, pengetahuan, mengetahui, mengungkapkan dan menjelaskan,[1] memahami sesuatu,[2] sebagai lawan dari kejahilan,[3] yakin dan makrifat.
Namun harus diketahui bahwa ilmu hudhuri (presentif) dan menguasai segala sesuatu dan penguasaan memiliki beberapa tingkatan, tatkala ilmu disertai dengan pencerapan pelbagai tipologi maka ia disebut sebagai makrifat dan apabila disertai dengan ketenangan bisa disebut sebagai yakin.[4]
B. Makna Leksikal Jahl
Ja-h-l (kebodohan) disebutkan memiliki dua makna. Pertama sebagai lawan ilmu[5] dan kedua sebagai lawan akal.
C. Ilmu dalam Riwayat
Dalam bab ilmu terdapat beberapa ungkapan pada riwayat. Sebagian dalam menjelaskan manfaat ilmu dan sebagian lainnya bahaya ilmu. Sebagian mengungkapkan tidak bermanfaatnya sebagian ilmu dan lain sebagainya. Sebagai contoh kami akan menyampaikan beberapa riwayat di sini sebagaimana berikut:
1. Ilmu bukanlah dengan banyaknya belajar. Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan dalam hati setiap orang yang ingin dikaruniai petunjuk.”[6]
2. “Rasulullah Saw masuk ke dalam sebuah masjid dan melihat seseorang yang dikelilingi oleh sekelompok orang. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa gerangan orang ini?” Orang-orang menjawab, “Allamah” (orang yang sangat berilmu). Rasulullah Saw bertanya lagi, “Allamah apa?” Orang-orang menjawab, “Orang paling alim tentang manusia dan sejarah bangsa Arab..” Rasulullah Saw bersabda, “Ilmu ini adalah ilmu yang tidak merugikan apabila tidak diketahui dan tidak menguntungkan bagi orang yang mengetahuinya.”[7]
Ilmu memiliki ragam makna dan penggunaan. Nampaknya pada pertanyaan yang dikemukakan di atas makna ini digunakan saling silang sengkarut dan bercampur satu sama lain. Karena yang dimaksud dengan ilmu yang boleh jadi disalahgunakan adalah ilmu-ilmu yang berkembang secara popular di tengah masyarakat. Ilmu-ilmu ini meski mengingat bahwa ilmu adalah cahaya namun cahaya juga boleh jadi disalahgunakan oleh orang. Namun ilmu yang tidak mungkin orang salahgunakan bukanlah ilmu yang umumnya diketahui oleh orang melainkan sebuah hakikat yang diperoleh manusia dari Tuhan buah dari kekudusan jiwa dan kesuciannya dari pelbagai noda.
Ilmu yang diperoleh karena hubungan eksitensial dengan Tuhan ini adalah cahaya murni yang hanya mengandung kebaikan. Keburukan sama sekali tidak memiliki ruang di dalamnya.
Ilmu yang merupakan cahaya adalah ilmu ladunni dan tidak diperoleh dengan proses belajar dan mengajar, melainkan cahaya petunjuk yang dipancarkan Allah Swt ke dalam hati orang beriman yang memiliki kelayakan untuk menerimanya. Meski hakikat ilmu dalam pandangan riwayat adalah cahaya Ilahi, yang terkadang dari sudut pandang aplikasinya disebut sebagai petunjuk karena ilmu yang tidak memberikan petunjuk bukanlah ilmu. Karena tipologi terpenting ilmu adalah membuka jalan dan memberikan petunjuk.
Akan tetapi terkadang dalam riwayat, redaksi ilmu digunakan untuk makna yang umum dipakai. Misalnya seperti yang disampaikan pada riwayat kedua. Atau pada kebanyakan riwayat disebutkan adanya larangan penyertaan ilmu dengan sifat-sifat tercela karena apabila ilmu disertai dengan sifat tercela maka ia dapat berpotensi merusak. Kesimpulan yang dapat diambil dari pandangan riwayat adalah bahwa ilmu disebut ilmu tatkala memberi petunjuk. Karena itu, ilmu yang keluar dari karakter dan tipologi keilmuannya, karena tidak memiliki karakter memberi petunjuk, bukan yang berkembang pada tradisi masyarakat. Karena ilmu seperti ini tidak dapat disebut ilmu. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap ilmu bukanlah cahaya murni. Ilmu dapat menjadi destruktif akibat penyalahgunaan pemiliknya. Sebaliknya, ilmu dapat menjadi bermanfaat dan konstruktif dengan penggunaan yang baik oleh pemiliknya.
Kesimpulan
Bahwa ilmu yang dalam artian umumnya (bukan bermakna petunjuk) adalah pedang bermata dua. Artinya ilmu pada dasarnya tidak baik juga tidak buruk. Ilmu layaknya sebagai sebuah media yang meski diciptakan untuk pemanfaatan yang baik namun bisa jadi berubah menjadi monster menakutkan dengan penyalahgunaan oleh pemiliknya. Ilmu dapat berfungsi berkhidmat kepada manusia, namun tetap saja ada kemungkinan disalahgunakan. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu bukanlah cahaya murni dan hal ini sama sekali tidak mendegradasi setitik pun kesempurnaan ilmu. Karena kalimat hak juga boleh jadi dimanfaatkan untuk keperluan batil.[8]
Oleh itu, penyalahgunaan media tidak akan menjatuhkan nilai media tersebut, melainkan yang sebenarnya jatuh adalah nilai orang yang menyalahgunakan media tersebut.
Argumentasi yang digunakan dalam pertanyaan adalah untuk menunjukkan poin yang mengemuka ini bahwa penyalahgunaan ilmu yang bertitik tolak dari kebodohan juga tidak dapat diterima; karena orang-orang yang misalnya ilmu Fisika yang digunakan untuk merakit bom atom mereka bukannya tidak tahu bagaimana memanfaatkan energi fisika dengan cara yang benar. Masalahnya adalah karena manusia mengejar kekuasaan dan ingin melampiaskan syahwatnya. Perbuatan mereka telah sampai pada titik mereka tidak mengamalkan ilmunya dari ilmu dan pengetahuan fisika yang mereka salah gunakan.
Benar sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ja-h-l (kebodohan) memiliki dua pengertian. Pertama sebagai lawan kata ilmu. Kedua sebagai lawan kata akal. Apabila yang kita maksud adalah kebodohan dalam artian kedua maka kita dapat menyebut perbuatan orang-orang ini adalah perbuatan jahil dan bodoh; artinya perbuatan mereka bukan perbuatan rasional dan mengabaikan hukum akal. Orang-orang bodoh ini adalah orang-orang yang menyalahgunakan ilmunya. [iQuest]
[1]. Ali Akbar Qarasyi, Qâmus Qur’ân, jil. 5, hal. 33, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keenam, 1371 S.
[2]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, Shafwan Adnan Daudi, hal. 580, Cetakan Pertama, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyah, Damisyq, Beirut, 1412 H.
[3]. Farahidi Khalil bin Ahmad, Kitâb al-‘Ain, jil. 2, hal. 152, Cetakan Kedua, Intisyarat Hijrat, Qum, 1410 H.
[4]. Hasan Mustafawi, Al-Tahqiq fi Kalimât al-Qur’ân al-Karim, jil. 8, hal. 205, Bunggah Tarjameh wa Nasyr Kitab, Teheran, 1360 S.
[5]. Hasan Mustafawi, Al-Tahqiq fi Kalimât al-Qur’ân al-Karim arim, jil. 2, hal. 131, Bunggah Tarjameh wa Nasyr Kitab, Teheran, 1360 S.
[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jill. 67, hal. 140, bab 52, al-Yaqin wa al-Shabr ‘ala al-Syadaid, Muassasah al-Wafa, Libanon, 1404 H.
[7]. Syaikh Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 30 – 35, Cetakan Keempat, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1365 S.
[8]. Shubhi Shaleh, Nahj al-Balâghah, hal. 83, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum.