Please Wait
15718
Identitas hakiki manusia yang disebut sebagai nafs (jiwa) memiliki beberapa dimensi dan lapisan beragam yang disinggung sebanyak tiga kali dalam al-Quran (ammârah, lawwamah dan muthmainnah)
Nafs ammârah adalah nafs yang memiliki pelbagai kecendrungan hewan yang menguasai diri manusia. Nafs ammârah adalah sebuah kondisi kejiwaan yang senantiasa memerintah manusia ke arah keburukan dan pemenuhan pelbagai hasrat syahwat hewaniah.
Adapun setan secara leksikal dan teknikal dilekatkan untuk segala entitas dan makhluk pembangkang dan penentang. Makhluk yang melakukan pembangkangan dan penentangan disebut sebagai setan terlepas apakah ia berasal dari jenis manusia atau jin atau hewan-hewan.
Yang dimaksud dengan Iblis adalah setan khusus yang berasal dari kalangan jin. Berkat ibadah yang banyak dilakukannya Iblis kemudian disejajarkan dalam barisan para malaikat namun setelah membangkang perintah Allah Swt (dalam masalah sujud kepada Nabi Adam), Iblis terusir dari rahmat Allah Swt. Ia bersumpah untuk menyesatkan dan menyimpangkan manusia dengan membisikkan was-was kepada mereka.
Karena itu, was-was dari sisi Iblis merupakan setan luar (eksternal). Adapun provokasi dan stimulasi yang dilakukan oleh nafs ammârah adalah setan dalam (internal) yang dapat menyeret manusia terpuruk ke dalam kubangan dosa dan kejahatan.
Dengan kata lain, nafs ammarah, dengan memperhatikan ruang dan kecendrungan hewaniah yang terdapat dalam diri manusia berada di bawah pengaruh was-was setan dan setan juga selangkah demi selangkah bergerak ke depan sedemikian sehingga menjadikan manusia sebagai anggota partai setan.
Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan penjelasan beberapa pendahuluan:
Pendahuluan pertama: Nafs dan pelbagai tingkatannya
Identitas hakiki manusia terdiri dari tiga dimensi dan lapisan (hewani, insani dan Ilahi). Dari ayat-ayat al-Quran juga dengan baik dapat disimpulkan bahwa ruh dan jiwa manusia memiliki tiga tingkatan:[1]
- Nafs ammarah
Lapisan hewaniah manusia dapat disimpulkan pada syahwat, amarah dan pelbagai kecendrungan jiwa.[2] Kecendrungan intrinsik dan kondisi kejiwaan ini disebut dalam bahasa al-Quran sebagai nafs ammarah dan menegaskan bahwa, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yusuf [12]:53) Atas dasar itu, nafs (jiwa) disebut sebagai ammârah (jiwa yang memerintah kepada pelbagai keburukan). Pada tingkatan ini, akal dan iman belum memiliki kekuatan yang cukup untuk menjinakkan dan menenangkan sikap membangkan nafs bahkan sebaliknya pada kebanyakan hal akal dan iman tunduk di hadapannya dan jiwa yang suka membangkang mengalahkan keduanya.
Dalam tuturan istri Aziz Mesir (Nabi Yusuf As)[3] telah disinggung tingkatan ini tatkala al-Quran menyatakan, “wa ma ubarri nafsi inna al-nafsa lammaratu bissu.” (Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, Qs. Yusuf [12]:53)
- Nafs lawwâmah
Nafs lawwâmah merupakan satu tingkatan dari nafs yang diperoleh manusia setelah proses pendidikan (ta’lim) dan pengajaran (tarbiyah) serta perjuangan (mujâhadah). Pada tingkatan ini boleh jadi berdasarkan pembangkangan terkadang pelbagai insting manusia terjerembab melakukan pelanggaran-pelanggaran namun segera ia menyesali dan menyalahkan dirinya kemudian memutuskan untuk menebus dosa dan kesalahan yang dilakukannya, hati dan jiwanya dicuci dengan air taubat.
Al-Quran menyebut tingkatan ini sebagai “nafs lawwâmah” dan menyatakan, “Dan Aku bersumpah demi jiwa yang sadar dan mencela (dirinya lantaran bersalah bahwa hari kiamat adalah benar).” (Qs. Al-Qiyamah [75]:2)
- Nafs muthmainnah
Nafs muthmainnah adalah tingkatan nafs yang diraih manusia setelah penyulingan, penyucian dan pengajaran sempurna. Pada tingkatan ini pelbagai insting pembangkang tidak memiliki kemampuan untuk berhadap-hadapan dengna akal dan iman karena akal dan iman sedemikian kuat dan perkasa sehingga pelbagai insting kejiwaan tidak memiliki kemampuan di hadapannya.
Makam nafs muthmainnah ini adalah makam para nabi, wali dan para pengikut sejati mereka. Mereka adalah orang-orang yang belajar pelajaran iman dan takwa pada madrasah para insan Ilahi dan bertahun-tahun sibuk melakukan penyucian jiwa dan telah menamatkan jihad akbar.
Al-Quran menyebutkan tingkatan ini sebagai nafs muthmainnah dan menyatakan, “Hai jiwa yang tenang. kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridai.” (Qs. Al-Fajr [89]:27-28)
Pendahuluan Kedua: Iblis dan Setan
- Iblis:
Yang dimaksud dengan Iblis adalah setan khusus yang berasal dari golongan bangsa jin. Namun disebabkan oleh banyaknya ibadah yang dilakukan, Iblis kemudian termasuk dalam bagian dari para malaikat. Namun setelah melakukan pembangkangan (menolak sujud kepada Adam) maka ia dipisahkan dari yang lain dan terjatuh dari kedudukannya yang suci karena tidak menaati titah Tuhannya dan memilih untuk berbuat fasik.[4]
- Setan:
Setan berasal dari klausul “sya-tha-na” yang bermakna melanggar dan menjauh. Setiap makhluk penentang dan pembangkang disebut sebagai setan, entah ia berasal dari golongan manusia atau dari jin atau dari kawanan hewan.[5]
Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam al-Quran, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah menawan untuk menipu (manusia).” (Qs. Al-An’am [6]:112)
Iblis disebut sebagai setan disebabkan oleh sikapnya yang membangkang dan merusak.
Pendahuluan Ketiga: Hubungan antara Nafs Ammârah dan Setan
Nafs ammârah sejatinya merupakan salah satu perangkat setan. Nafs ammârah merupakan media bagi setan untuk melakukan penetrasi dan menguasai manusia. Nafs ammarah adalah termasuk sebagai salah satu tentara dan pasukan setan.
Karena itu, was-was dari sisi Iblis merupakan setan luar (eksternal) dan provokasi dan stimulasi yang dilakukan oleh nafs ammârah adalah setan dalam (internal) yang dapat menyeret manusia terpuruk ke dalam kubangan dosa dan kejahatan.
Seluruh upaya yang dilakukan setan adalah supaya manusia tersesat dan tidak sampai pada kebenaran. Dalam hal ini, setan telah bersumpah dengan keagungan Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (Qs. Shad [38]:82 & 83) Aghwa berasal dari kata ghi yang bermakna bertentangan dengan rusyd dan rusyd bermakna sampainya seseorang pada kebenaran.[6]
Setan bersumpah dengan keagungan Tuhan bahwa ia akan menyesatkan manusia.[7] Ia menyimpangkan dan menyesatkan manusia selangkah demi selangkah dan mempengaruhi manusia dengan pelbagai bisikannya sedemikian sehingga manusia telah berubah menjelma menjadi setan itu sendiri dan dengan perantaranya setan menyesatkan manusia-manusia lainnya.
Manusia yang tunduk menyerah di hadapan pelbagai keinginan dan kecendrungan hewani akibat was-was setan telah tertawan dalam pasungan nafs ammârah.
Imam Ali As bersabda, “Nafs ammârah adalah laksana seorang munafik yang merayu manusia dan menampakkan dirinya sebagai teman sehingga ia menguasai manusia dan menyeretnya ke tingkatan selanjutnya.”[8]
Setan mewas-wasi manusia yang lemah iman dan dengan menolong manusia memenuhi pelbagai kecendrungan syahwat dan nafs ammârah-nya menjadikan hati manusia sebagai kediamannya dan pada akhirnya menjalin hubungan dnegna tangan dan badan manusia serta berjabat tangan erat dengannya pada akhirnya menjadi karib dan sahabatnya yang setia. Karena hati seseorang telah menjadi kediaman setan, ia tidak hanya sekedar menjadi pelayan setan bahkan telah menjadi penolongnya.[9] Terkait dengan kelompok ini, Imam Ali As bersabda, “Mereka telah menjadikan setan sebagai majikan atas urusan mereka, dan ia mengambil mereka sebagai mitra. la telah bertelur dan menetaskannya di dada mereka. la menjalar dan merayap dalam pangkuan mereka. la melihat melalui mata mereka, dan berbicara dengan lidah mereka.”[10]
Kesimpulannya: Setan dan nafs ammârah keduanya merupakan musuh manusia. atas dasar itu, di samping al-Quran menyebut setan sebagai musuh manusia nyata dan menasihatkan manusia untuk menjadikannya sebagai musuh.[11] Demikian juga dalam beberapa riwayat para maksum As nafs ammârah (hawa nafsu) juga dipandang sebagai musuh bebuyutan manusia. Ketika Rasulullah Saw bersabda, “Musuh bebuyutan Anda yang paling besar adalah nafs kalian yang berada dalam diri kalian”[12] sejatinya beliau tengah menyinggung tingkatan dari nafs (ammârah) ini.
Rahasia ungkapan nafs sebagai “musuh bebuyutan terbesar” adalah karena keberadaanya dalam diri manusia. Musuh dan pencuri yang berada di luar, tanpa keikutsertaan musuh dan pencuri internal ini, tidak akan mendatangkan bahaya. Musuh internal ini adalah mahram dan mengetahui seluk-beluk diri manusia dan dengan memanfaatkan pengetahuan ini, ia melaporkan keinginan pribadinya kepada setan.
Dari sudut pandang itu, pesan dan titah Iblis yang mendorong manusia melakukan kejahatan (ammarah bissu’) eksternal. Karena itu, nafs ammârah termasuk sebagai salah satu pasukan setan sebagaimana kebanyakan sifat-sifatnya termasuk bagian dari pasukan setan.[13]
Dengan demikian, nafs ammârah, mengingat adanya ruang dan kecendrungan hewaniah pada diri manusia, berada di bawah pengaruh was-was setan dan setan juga setapak demi setapak melangkah maju sedemikian sehingga orang tersebut menjadi bagian dari partai setan.[14] [iQuest]
[1]. Tafsir Nemune, jil. 25, hal. 281.
[2]. Haq wa Taklif dar Islâm, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 89.
[3]. Sekelompok mufassir bahwa orang yang dimaksud dengan redaksi kalimat ini adalah Nabi Yusuf namun pandangan ini tidak diterima oleh kebanyakan mufassir. Tafsir Nemune, jil. 9, hal. 433 dan 434.
[4]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 8, hal. 26.
[5]. Al-Munjid fi al-Lughah; Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 129.
[6]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 631.
[7]. Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (Qs. Shad [38]:82 & 83)
[8]. Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam.
[9]. Mabâdi Akhlâq dar Qur’ân, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 115.
[10]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 7.
[11]. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:168)
[12]. Bihâr al-Anwâr, jil. 67, hal. 64.
[13]. Tafsir Tasnim, Abdullah Jawadi Amuli, jil. 8, hal. 516.
[14]. “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” (Qs. Al-Mujadalah [58]:19)