Please Wait
40837
Mukjizat dari satu sisi bermakna suatu hal yang luar biasa yang di sertai dengan tantangan dan dari sisi lain, mukjizat yang dipraktikan itu sejalan dengan klaim yang dilontarkan oleh pemilik mukjizat. Ekstraordinari artinya adalah terjadinya sebuah perkara yang berbeda dengan aturan-aturan natural.
Sebuah peristiwa disebut ekstraordinari (khâriq al-'âda, luar biasa) tidak bermakna bahwa tiadanya kausalitas atau penafian terhadap hukum sebab-akibat. Mukjizat kendati sebagaimana perkara-perkara ordinari (biasa) yang memiliki sebab-sebab natural akan tetapi sebab-sebabnya tidak dapat diakses, dirasakan dan diketahui oleh masyarakat secara umum.
Tahaddi (tantangan) artinya bahwa nabi sebagai pemilik mukjizat menantang mereka yang tidak beriman kepadanya dan apa yang didakwahnya untuk menghadirkan sekiranya mereka mampu untuk menghadirkan semisal dengan apa yang dibawa oleh nabi.
Mukjizat bersumber dari jiwa-jiwa para nabi dan terlaksana berkat izin Tuhan, artinya bersandar pada kekuatan yang tak-sirna dan tak-terbatas Ilahi. Karena itu, mukjizat senantiasa menang dan menaklukkan. Mukjizat tidak memerlukan proses pembelajaran dan latihan dan atas alasan ini tidak memerlukan syarat dan stipulasi. Mukjizat para nabi bukan untuk hiburan, demonstrasi, show force belaka dan sebagainya melainkan ditujukan untuk memberi petunjuk dan membimbing manusia. Atas alasan ini, mukjizat berbeda dengan karamah seperti terkabulannya doa, dan juga sihir serta magik.
Terkait dengan karamah di dalamnya tidak terdapat tantangan, panduan dan petunjuk untuk manusia serta klaim kenabian. Dalam sihir, magik dan praktik-praktik yang dilakukan oleh pertapa tidak memiliki sumber-sumber natural dan apabila memiliki sumber-sumber natural dalam masalah ini maka hal itu tidak memiliki tujuan kudus. Di samping itu, dengan belajar dan latihan siapa pun dapat meraih hal ini dan mampu mengerjakan perbuatan-perbuatan magikal.
Dan karena mengambil sumber dari kekuatan manusia dan kekuatan manusia adalah kekuatan terbatas, maka perbuatan-perbuatan “luar biasa” yang dilakukan orang-orang seperti ini kalah dan tunduk di bawah kekuatan yang berada di atasnya.
Penetapan dan pembuktian mukjizat
Mukjizat terbagi menjadi dua. Mukjizat perbuatan yang bercorak situasional dan mukjizat ucapan. Mukjizat perbuatan berurusan dengan panca indra manusia dan terlaksana pada pelataran ruang dan waktu. Dan setelah terjadinya mukjizat tersebut, ia tidak akan bertahan, meski sebagian mukjizat perbuatan Nabi Saw tetap lestari tidak lekang oleh waktu dan zaman.
Untuk menetapkan bagian mukjizat ini, bagi orang-orang yang tidak hadir tatkala mukjizat ini diperagakan, dapat dicapai dengan menelaah riwayat-riwayat yang menukil mukjizat ini.
Mukjizat ucapan Nabi Saw adalah al-Qur’an. Al-Qur’an dalam banyak hal menantang para pengingkar untuk menghadrikan yang serupa dengan apa yang hadirkan oleh al-Qur’an.
Tantangan al-Qur’an tidak terbatas pada wilayah khusus seperti kefasihan dan retorikanya, melainkan dari segala sisi yang kemungkinan terdapat padanya keunggulan dapat menjadi obyek tantangan al-Qur’an. Seperti berita ghaib, masalah ilmiah, tiadanya perselisihan dalam al-Qur’an dan sebagainya dimana untuk membuktikan dan menetapkan mukjizat sedemikian membutuhkan telaah dan kajian pelbagai dimensi mukjizat al-Quran. Artinya mukjizat yang dimiliki al-Qur’an pada ragam bidang tidak mampu ditandingi oleh manusia sedemikian sehingga seluruh manusia di setiap zaman tidak mampu menyuguhkan apa yang disuguhkan oleh al-Qur’an.
Para ulama Islam[1] dalam mendefinisikan mukjizat berkata, “Mukjizat adalah perkara yang berada di luar kebiasaan (ekstraordinari) yang disertai dengan tantangan dan klaim.” Peristiwa ekstraordinari merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar rata-rata kebiasaan dan aturan natural. Mukjizat dikatakan luar biasa (khâriq al-'âdat) tidak bermakna bahwa mukjizat mendapatkan pengecualian dari hukum kausalitas.
Mukjizat tidak menafikan hukum kausalitas. Karena hukum kausalitas adalah sesuatu yang diterima dengan argumen juga al-Qur’an. Hukum kausalitas[2] dan peristiwa ekstraordinari keduanya diterima oleh al-Qur’an. Al-Qur’an menunjukkan pelbagai pengetahuan kepada manusia misalnya bahwa yang mengusai seluruh sebab adalah Tuhan atau sebab-sebab material secara mandiri tidak memberi pengaruh dan penyebab sejati adalah Tuhan.[3] Sebab-sebab yang berpengaruh dalam hal mukjizat adalah jiwa-jiwa para nabi[4] dan sumber yang terdapat pada jiwa-jiwa para nabi, wali dan kaum Mukminin, adalah berada di atas seluruh sebab-sebab lahir dan berkuasa atasnya.[5]
Kesimpulannya, mukjizat dan perkara-perkara luar biasa lainnya sebagaimana perkara-perkara biasa membutuhkan sebab-sebab natural. Di samping itu, keduanya (mukjizat dan perkara biasa) juga memiliki sebab-sebab batin. Sebab-sebab batin yang kita sebut sebagai sebab-sebab berbeda satu dengan yang lain. Akan tetapi dalam perkara biasa, sebab-sebab lahir dan normal senantiasa disertai dengan sebab-sebab batin dan hakiki. Sebab-sebab batin tersebut senantiasa disertai dengan kehendak dan perintah Tuhan. Namun terkadang sebab-sebab hakiki tidak selaras dengan sebab-sebab lahir dan sebagai kesimpulannya kesebaban sebab-sebab lahir tidak lagi bekerja dan perkara normal tidak lagi ada, karena kehendak dan perintah Tuhan tidak lagi terkait pada urusan tersebut. Berbeda dengan perkara-perkara luar biasa, yang tidak bersandar pada sebab-sebab natural melainkan bersandar pada sebab-sebab natural non-konvensional yaitu pada sebab-sebab yang tidak dapat dicerap oleh indra manusia. Namun sebab-sebab natural non-konvensional juga bersamaan dengan sebab-sebab hakiki dan batin. Dan puncaknya bersandar pada izin dan kehendak Tuhan.
Di antara syarat lain mukjizat adalah disertai dengan tantangan. Artinya seorang nabi yang mendemonstrasikan mukjizat meminta semua, khususnya para pengingkar dan orang-orang yang tidak percaya, bahwa apabila mukjizat tersebut sebagai perbuatan biasa dan tidak memandang sebagai kebenaran seruannya, supaya mereka mendatangkan yang serupa.[6]
Dengan kata lain, mukjizat artinya “bayyinah dan ayat Ilahi” yang terlaksana guna membuktikan dan menetapkan tugas Ilahi dan karena itu terbatas pada kondisi-kondisi tertentu dan disertai dengan tantangan.[7]
Di antara syarat mukjizat dan telah dijelaskan pada definisi mukjizat adalah bahwa sesuai dengan seruan artinya apabila ada seseorang mengklaim kenabian dan mukjizatnya seperti menyembuhkan orang buta maka orang buta tersebut harus mendapatkan kesembuhan supaya menjadi dalil atas kebenarannya.[8]
Karena itu mukjizat adalah sebuah perbuatan luar biasa dan meski sihir, terkabulkannya doa dan semisalnya adalah tergolong perbuatan luar biasa namun keduanya tidak mampu menandingi mukjizat. Dimana sebab-sebab sihir dan terkabulkannya doa terkalahkan.
Mukjizat disebut mukjizat karena faktor-faktor natural dan non-konvensionalnya tak terkalahkan. Dan mukjizat senantiasa menundukkan dan berjaya.[9] Sihir dan ilmu magik tidak memiliki sumber Ilahi dan juga tabiat, wujud luaran dan nafs al-amr, dan umumnya sihir dan ilmu magik ini adalah sulapan dan bersandar pada tipuan pandangan, waham, fantasi dan sugesti. Apabila pada sebagian masalah sihir dan ilmu magik memiliki sumber tabiat maka hal itu digunakan untuk hal-hal buruk. Dan umumnya senantiasa disertai dengan kejahilan dan khurafat.
Artinya perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh manusia biasa berbeda dengan mukjizat para nabi. Para nabi mendemonstrasikan mukjizat dalam rangka memberi petunjuk dan bimbingan manusia bukan untuk show force dan menghibur manusia.
Dari satu sisi, mukjizat tidak memiliki syarat dan stipulasi khusus. Artinya bahwa untuk memperagakan mukjizat, para nabi tidak memerlukan pengajaran dan latihan. Berkebalikan dengan apa yang dilakukan para penyihir yang memerlukan pengajaran dan latihan. Dari sisi lain, mereka tidak dapat melalukan apa pun yang mereka kehendaki. Hal ini dikarenakan bahwa mukjizat para nabi bersandar pada kekuatan tak-terbatas dan tak-sirna Ilahi. Dan perbuatan luar biasa yang ditunjukkan oleh orang lain bersumber dari kekuatan terbatas manusia dan karena itu keluarbiasaan manusiawi tidak dapat disandingkan dengan mukjizat Ilahi dan tidak satu pun dari mereka yang melontarkan tantangan.[10]
Keluarbiasaan dengan terkabulnya doa dan sebagainya memiliki perbedaan dengan mukjizat karena dalam masalah mukjizat terdapat tantangan dan urusan petunjuk bagi manusia. Dengan dikeluarkannya mukjizat validitas kenabian, risalah dan seruannya kepada Tuhan dapat ditetapkan dan dibuktikan. Karena itu, seseorang yang memiliki mukjizat dalam mempertontonkannya berada dalam keadaan bebas. Artinya kapan saja ia diminta untuk mendemonstrasikan mukjizatnya ia dapat melaksanakannya. Dan Tuhan mewujudkan kehendaknya tersebut. Berbeda dengan terkabulkannya doa dan karamah para wali yang tidak terdapat tantangan di dalamnya. Dan masalah petunjuk dan bimbingan tidak bergantung kepadanya. Mungkin saja doa tersebut menyelisih dimana menyelisihnya doa dan keramat tidak menyebabkan tersesatnya orang lain.[11]
Dengan kata lain, keramat merupakan sebuah perkara luar biasa yang semata berdasarkan kekuatan ruh dan kesucian jiwa seorang manusia sempurna atau setengah sempurna. Sejatinya mukjizat adalah bahasa Tuhan yang menegaskan seseorang yang mempertontonkannya namun keramah tidak memiliki bahasa sedemikian.[12]
Mukjizat disertai dengan klaim dan terkhusus bagi nabi. Apabila mukjizat dipraktikkan seseorang maka mungkin ia menyampaikan klaim kenabian atau mungkin juga tidak. Apabila memiliki klaim kenabian, melalui mukjizatnya kita mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran klaimnya, lantaran mukjizat yang dipertontonkan oleh pendusta secara rasional tercela. Dan apabila ia tidak memiliki klaim kenabian maka hukum kenabian tidak dapat disandarkan kepadanya. Karena mukjizat sendirinya tidak menandaskan akan kenabian dan apa yang ditetapkannya adalah kebenaran klaimnya. Dan apabila klaim mengandung seruan kenabian maka mukjizat menunjukkan bahwa pengklaim berkata benar dalam klaimnya. Keniscayaan perkataan benar ini adalah ketetapan kenabiannya.
Meski nabi sebelum kenabian juga dapat bermukjizat, namun ditujukan untuk “irhash” yaitu mempersiapkan masyarakat untuk mendengarkan seruannya.[13]
Iya, mukjizat disertai dengan tantangan setelah bermulanya seruan para nabi. Selain itu, apabila perbuatan luar biasa disaksikan dipertontonkan oleh nabi maka hal itu tergolong sebagai keramat. Kendati secara urf seluruh keramat para nabi dan imam As dapat dipandang sebagai mukjizat.[14]
Adapun pembuktian mukjizat bergantung pada penjelasan dua masalah: pertama, bagian-bagian mukjizat para nabi, kedua, sisi-sisi kemukjizatan al-Qur’an.
Pembagian mukjizat
Mukjizat terbagi menjadi dua: perbuatan dan ucapan.
Yang dimaksud dengan mukjizat perbuatan adalah pengelolaan alam semesta berdasarkan wilâyah takwini yang terlaksana berkat izin Tuhan.[15] Misalnya membelah bulan[16] dan membelah pohon[17] yang merupakan mukjizat Nabi Saw. Membelah bumi[18] dan menebas laut[19] pada kisah Qarun dan Fir’aun yang merupakan mukjizat Nabi Musa As. Membelah gunung[20] oleh Nabi Shaleh As. Menyembuhkan orang buta,[21] kusta, lepra dan menghidupkan orang mati oleh Nabi Isa As. Dan terangkatnya gerbang khaibar oleh Imam Ali As.[22]
Mukjizat ucapan adalah kalimat-kalimat dan penjelasan Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw serta para maksum As yang mengandung maarif yang mendalam dan benar yang menyebabkan keheranan dan takjub orang-orang berakal di seantero semesta.
Terkait perbedaan antara mukjizat perbuatan dan ucapan harus dikatakan bahwa mukjizat perbuatan di samping terbatas pada ruang dan waktu tertentu, ia juga diperuntukkan untuk orang awam. Karena mereka berurusan dengan perkara-perkara indrawi.[23] Adapun mukjizat ucapan tidak terkhusus pada masa tertentu dan tetap lestari di sepanjang masa dan terkhusus untuk orang-orang khusus.
Di antara mukjizat perbuatan Nabi Saw adalah menetapkan kiblah di Madinah yang hingga kini lestari dan Nabi Saw melakukan hal itu tanpa menggunakan media-media astronomi dan kaidah-kaidah meterologik dan sebagainya, berdiri mengarah ke kiblat dan bersabda: “Mihrâbi ‘ala al-Mizâb” (Mihrabku berhadapan dengan saluran air Ka’bah).[24]
Untuk menetapkan dan membuktikan mukjizat perbuatan hal itu memerlukan kajian dan telaah riwayat yang menukil tentang mukjizat. Apabila mukjizat tersebut diterima sanadnya atau indikasi-indikasi tentang validitasnya, maka kita menerima mukjizat tersebut. Kalau tidak demikian, kita tidak memiliki jalan untuk membuktikannya. Kendati kemungkinannya juga tidak dapat kita nafikan. Iya, jenis mukjizat perbuatan para nabi yang dikisahkan al-Qur’an, kita menerimanya tanpa ragu dan sangsi. Demikian juga mukjizat yang hingga kini tetap lestari.
Mukjizat al-Qur’an
Puncak mukjizat ucapan adalah al-Qur’an. Tiada yang dapat meragukan tentang sumber dan tiadanya distorsi dalam al-Qur’an. Kini yang tersisa adalah atas dalil apa al-Qur’an disebut sebagai mukjizat?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kiranya perlu dijelaskan ihwal sisi-sisi kemukjizatan al-Qur’an. Artinya al-Qur’an ditelaah dan ditelisik dari pelbagai sisi sehingga tertetapkan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah Swt.
Sisi-sisi kemukjizatan al-Qur’an[25]
Al-Qur’an melontarkan tantangan dari pelbagai sisi dimana di sini akan disinggung sebagian dari tantangan tersebut:
1. Tantangan terhadap kefasihan dan retorika al-Qur’an.[26]
2. Tantangan terhadap tiadanya perselisihan pada pelbagai pengatahuan (maarif) yang ditunjukkan.[27] Atas alasan ini Imam Ali As bersabda: “Sebagian (ayat) al-Qur’an adalah penafsir atas kandungan (ayat) lainnya. Dan sebagian menjadi saksi atas yang lainnya.”
3. Tantangan terhadap berita-berita ghaib.[28]
4. Tantangan terhadap orang yang diturunkan kepadanya al-Qur’an;[29]
5. Tantangan terhadap ilmu dan sebagainya.[30]
Dengan jalan ini kemukjizatan dan kebenaran al-Qur’an tertetapkan dan terbuktikan dimana seseorang ummi dan tak pernah mengenyam bangku sekolah, tumbuh besar pada lingkungan jahiliyah yang tidak mengenal peradaban, moralitas dan pengetahuan, tidak mampu menunjukkan kepada kemanusiaan pelbagai pengetahuan (maarif), akhlak dan aturan-aturan agama, baik ibadah atau pun muamalah dan politik sosial dan sebagainya, dan singkatnya yang diperlukan oleh kemanusiaan, kalau hal itu bersumber dari dirinya sendiri. Sedemikian sehingga para pemikir dan cendekiawan takjub, terheran-heran dan tdak dapat mencerap hal ini. Al-Qur’an tidak hanya membahas universalitas dan hal-hal yang penting namun juga masalah-masalah partikular. Dan menariknya seluruh maarif yang dikandungnya berpijak di atas fitrah dan orisinilitas tauhid sedemikian sehingga rincian pelbagai hukumnya setelah analisa jeluk kembali kepada masalah tauhid. Dan orisinilitas tauhid setelah analisa kembali kepada rincian-rincian tersebut.
Al-Qur’an di samping lafaz-lafaznya, makna-makna yang terpendam di balik lafaz juga merupakan mukjizat. Artinya di samping al-Qur’an sempurna dalam bertutur-kata, tutur katanya juga sempurna.[31]
Dan hingga kini tiada seorang pun yang maju melontarkan tantangan terhadap al-Qur’an dalam pelbagai bidang. Dan minimal menyuguhkan surah semisal surah pendek al-Kautsar.
Poin terakhir yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa al-Qur’an dalam kalimat-kalimatnya melontarkan tantangan secara mutlak.[32] Dan menegaskan bahwa apabila seseorang mampu menghadirkan semisal yang dihadirkan al-Qur’an. Al-Qur’an tidak menyebutkan bahwa apabila kalian mampu menghadirkan sebuah kitab fasih atau retorik seperti al-Qur’an atau sebuah kitab yang mengandung maarif sedemikian. Hal ini mewartakan kepada kita bahwa al-Qur’an dari pelbagai sisi yang memungkinkan ia dapat ditandingi adalah tidak tertandingi. Tantangan dan ajakan untuk bermukjizat ini ditujukan dan dilontarkan kepada satu demi satu manusia pada setiap masa. Apabila seseorang tidak memiliki kemampuan mencerap sisi-sisi kemukjizatan al-Qur’an, untuk menetapkan kemukjizatan al-Qur’an maka sebaiknya ia merujuk kepada orang yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi yang menghabiskan usianya selama bertahun-tahun berupaya untuk memahami maarif al-Qur’an dan meyakini bahwa al-Qur’an merupakan samudera pelbagai makrifat dan pengetahuan dimana ia telah meneguk setetes darinya.[]
[1]. Silahkan lihat Kasyf al-Murad fi Syarhi Tajrid al-I’tiqad, Allamah Hilli, dengan annotasi dan koreksi Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 350-353. Ta’liqat Ayatullah Hasan Zadeh Amuli bar Kasyf al- Murad, hal. 595. Rahbaran-e Buzurgh wa Mas’uliyatha-ye Buzurghtar, hal. 119-153. Muqaddimah bar Jahan Bini-ye Islam, Syahid Muthahhari, hal. 179-208. Al-Mizan, jil. 1, hal. 58-90 dan Terjemahan
[2]. Qs. Al-Thalaq [65]:3; Qs. Al-Hijr [15]:21; Qs. Al-Qamar [54]:49.
[3]. Qs. Al-A’raf [7]:54; Qs. Al-Baqarah [2]:284; Qs. Al-Hadid [57]:5; Qs. Al-Nisaa [4]:80; Qs. Ali Imran [3]:26; Qs. Thaha [20]:50; Qs. Al-Baqarah [2]:255; Qs. Yunus [10]:3.
[4]. Qs. Al-Ghafir [40]:78.
[5]. Qs. Al-Shaffat [37]:173; Qs. Al-Mujadalah [58]:21; Qs. Al-Ghafir [40]:53.
[6]. Bahauddin Khuramsyahi, Jahan-e Ghaib wan Ghaib-e Jahan, hal. 45-83.
[7]. Murtadha Muthahhari, Muqaddame-ye bar Jahan Bini Islami, hal. 189.
[8]. Kasyf al-Murad fii Syarh Tajrid al-I’tiqad, hal. 350.
[9]. Dalam kisah penyihir Fir’aun tatkala melihat Musa mereka memahami bahwa perbuatan Nabi Musa As adalah mukjizat. Karena sihir mereka tertelan dan karena itu mereka mengakui ketidakmampuan mereka dan seterusnya. Lihat Qs. Al-A’raf (7):105-125)
[10]. Ayatullah Makarim Syirazi, Rahbaran-e Buzurg wa Mas’uliyatha-ye Buzurgtar, hal. 119-153.
[11]. Al-Mizan, jil. 1, hal. 82.
[12]. Syahid Muthahari, Op Cit, hal. 1-7. Asynai ba Qur’an, jil. 2, hal. 235 dan seterusnya.
[13]. Kasyf al-Murad fii Syarh Tajrid al-I’tiqad, hal. 352.
[14]. Ibid, hal. 353. Jahan-e Ghaib wa Ghaib-e Jahan, hal. 46-47.
[15]. Karena menunaikan perintah manusia akan mendekat kepada Tuhan dan berkat pengaruh kedekatan kepada Tuhan manusia akan meraih makam wilayah dan kemudian sebagaimana Tuhan ia dapat berkuasa di alam semesta.
[16]. Di antara mukjizat Nabi Saw adalah membelah bulan.
[17]. Imam Ali As dalam Nahj al-Balâghah, Khutbah Qâshi’a, menjelaskan mukjizat membelah pohon yang dipraktikkan Nabi Saw. Terkait dengan mukjizat Nabi Saw Anda dapat merujuk Bihâr al-Anwâr, cetakam Kumpani, hal.105.
[18]. Qs. Qashash (28):76-81.
[19]. Qs. Al-Baqarah (2):50
[20]. Qs. Al-Syams (91):11-15.
[21]. Qs. Ali Imran (3):49.
[22]. Basyarat al-Musthafa, cetakan Najaf, hal. 235. Âmali Shaduq, majlis 77, hal. 307.
[23]. Makna dari ucapan ini tidak bermakna bahwa orang-orang khusus tidak menggunakannya melainkan terkadang seperti pada kisah Musa As dimana hal ini terjadi.
[24]. Mir Damad, Qabâsat, hal. 321. Kasyf al-Murâd fii Syarh Tajrid al-I’tiqâd, Annotasi Ayatullah Hasan Zadeh, hal. 597-598. Insân-e Kâmil az Didgâh-e Nahj al-Balâghah, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, 8-12.
[25]. Dâirat al-Ma’ârif Tasyayyu’, jil. 2, hal. 265. Dâirat al-Ma’arif Buzurgh-e Islâmi, jil. 9, hal. 363-366. Al-Mizân, jil. 1, hal. 58-90. Annotasi Ayatullah Hasan Zadeh atas Kasyf al-Murad, hal. 597-600.
[26]. Qs. A-Hud (11):14; Qs. Yunus (10):39.
[27]. Qs. Al-Nisa (4):82; Qs. Al-Zumar (39):23.
[28]. Qs. Al-Hud (11):49; Qs. Yusuf (12):102; Qs. Ali Imran (3):44; Qs. Maryam (19):34; Qs. Al-Rum (30):1; Qs. Al-Fath ():15; Qs. Al-Anbiya (21):97; Qs. Al-Qashash (28):85; Qs. Al-Maidah (5):67; Qs. Al-Nur ():55; Qs. Al-Fath (48):27; Qs. Al-An’am (6):65; Yunus (10):47.
[29]. Qs. Yunus (10):16.
[30]. Qs. Al-Nahl (16):89; Qs. Al-An’am (6):59; Qs. Al-Nisa (4):106; Qs. Fushshilat (41):42; Qs. Al-Hasyr (59):7; Qs. Al-Hijr (15):9.
[31]. Silahkan rujuk ke indeks: Sisi-sisi Kemukjizatan al-Qur’an.
[32]. “Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:28)