Please Wait
20796
1. Al-Qur'an dari satu sisi menyebutkan kedudukan tinggi manusia dengan ragam redaksi dan dari sisi lain, terdapat juga ayat-ayat yang mencela dan mengecam manusia.
2. Gerakan manusia dalam dua kurva menanjak (qaus shu'udi) dan menukik (qaus nuzuli) tidak terbatas dan tidak mengenal tapal batas. Hal ini dikarenakan pelbagai potensi yang dimilikinya.
3. Manusia merupakan sebuah makhluk dwi-dimensi; dimensi ruhani-malakuti dan dimensi hewani-nafsani.
4. Manusia berbeda dengan entitas-entitas lainnya memiliki kehendak dan kebebasan dan lintasan kehidupannya berpijak di atas pilihan-pilihannya sendiri.
5. Orang-orang yang mampu meraih makam khalifatullah dengan bekal petunjuk Ilahi dan mengendalikan pelbagai kecendrungan dan keinginan hewani.
Dengan mengulas secara selintasan ayat-ayat al-Qur'an kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan manusia, secara umum kita berhadapan dua perkara:
Bagian pertama, ayat-ayat yang mengagungkan manusia dan menyebut manusia dengan ungkapan yang sangat agung dan tinggi. Ayat-ayat yang terkait misalnya:
1. "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (Qs. Al-Isra [17]:70)
2. "Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:30)
3. "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).” Qs. Al-Ahzab [33]:72) dan sebagianya..
Akan tetapi terdapat juga sebagian ayat-ayat yang mencela manusia, dengan bahasa yang keras mengkritisi manusia misalnya dengan redaksi, "Manusia tidak pernah jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka, dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhan-ku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. . Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia (yang lalai), ia berpaling dan menjauhkan diri. Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa." (Qs. Fusshilat [41]:49-51); atau "Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi." (Qs. Syura [42]:27); "Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Qs. Ibrahim [22]:34); "Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri)." (Qs. Al-Ahzab [33]:72); "penantang yang nyata" (Qs. Yasin [36]:77); "Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian." (Qs. Al-Ashr [103]:2) dan lain sebagainya.
Dengan menyebutkan ayat-ayat di atas pertanyaan ini mengemuka bahwa bagaimana memecahkan masalah enigmatik seperti ini? Arti dan makna dua bagian ayat yang secara sepintas bertentangan satu dengan yang lain?
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mengambil pertolongan dari al-Qur'an sendiri lantaran sebagian ayat al-Qur'an menafsirkan sebagian lainnya.
Dalam surah Bayyinah kita membaca: (Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh adalah sebaik-baik makhluk." (Qs. Al-Bayyinah [98]:6-7)
Dalam dua ayat yang bersambungan dari satu surah ini, disebutkan titel dan gelar manusia sebagai sebaik-baik makhluk sekaligus seburuk-buruk makhluk. Dan hal ini merupakan penjelas kurva menaiknya manusia dan kurva menurunnya manusia secara tidak terbatas. Artinya bahwa apabila manusia memiliki iman dan amal saleh maka ia merupakan sebaik-baik ciptaan Tuhan. Dan sekiranya ia memilih jalan kufur, kesesatan, keras kepala, maka sedemikian ia terpuruk sehingga ia akan menjadi seburuk-buruk ciptaan Tuhan di muka bumi.
Imam 'Ali As dalam sebuah riwayat bersabda: "Allah Swt menciptakan alam semesta atas tiga jenis: Para malaikat, hewan dan manusia. Para malaikat memiliki akal tapi tidak mempunyai syahwat dan amarah. Hewan memiliki sekumpulan syahwat dan amarah tanpa akal. Akan tetapi manusia adalah sekumpulan yang memiliki keduanya sehingga lebih unggul dari keduanya. Apabila akalnya yang lebih dominan maka ia lebih baik dari para malaikat. Dan sekiranya syahwatnya yang menguasainya maka ia lebih rendah dari pada hewan."[1]
Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa sebagaimana manusia merupakan entitas dwi-dimensi (dimensi ruhani dan jasmani), kecendrungannya juga dua jenis (kecendrungan dan ketertarikan maknawi dan kecendrungan hewani dan jasmani) sehingga ia dapat dengan menggunakan kehendak dan pilihannya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, ia memilih salah satu dari dua kecendrungan tersebut dan mencapai kedudukan tinggi kemanusiaannya, atau hingga ia terpuruk dan terjatuh atau dengan bahasa al-Qur'an seburuk-buruk makhluk atau lebih rendah lagi.[2]
Karena itu, ayat-ayat nurani al-Qur'an menyingkap realitas ini bahwa seluruh manusia pada tingkatan potensi ia memiliki kapabilitas seperti ini bahwa ia dapat menjadi sebaik-baik dan semulia-mulia bahkan lebih mulia dari para malaikat. Sedemikian sehingga ketika ia mengaktualkan seluruh potensi ini maka ia mencapai tingkatan khalifatullah, akan tetapi apabila ia tidak memanfaatkan dan memberdayakan pelbagai potensi Ilahiah ini sebaik mungkin atau bahkan merusaknya, maka ia menjadi sasaran kecaman Ilahi dimana contoh-contohnya telah kami utarakan pada tulisan ringan ini.[]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
Al-Mizan, jil. 16, hal. 524-527; Tafsir Nemune, jil. 8, jil. 17, hal. 451-457.